Minggu, 02 November 2008

STRES

BAB I
PENDAHULUAN

Bagi masyarakat pada era industrialisasi sekarang ini, pekerjaan merupakan suatu aspek kehidupan yang sangat penting. Bagi masyarakat modern bekerja merupakan suatu tuntutan yang mendasar, baik dalam rangka memperoleh imbalan berupa uang atau jasa, ataupun dalam rangka mengembangkan dirinya. Pada kenyataannya, sebagian besar pekerjaan cenderung memiliki konotasi paksaan, baik yang ditimbulkan dari dalam diri sendiri ataupun yang ditimbulkan dari luar. Pekerjaan juga seringkali meliputi penggunaan waktu dan usaha di luar keinginan individu pekerja. Banyak pekerja yang melakukan pekerjaan rutin, yang tidak atau hanya sedikit menuntut inisiatif dan tanggungjawab, dengan sedikit harapan untuk maju atau berpindah kejenis pekerjaan lain. Banyak juga pekerja yang melakukan tugas yang berada jauh dibawah kemampuan intelektual mereka atau yang mereka anggap berada dibawah tingkat pendidikan yang telah mereka peroleh. Di banyak sektor industri, pekerjaan telah sangat ‘dirasionalisasikan’, dipecah-pecah kedalam tugas-tugas yang sederhana, menoton, dan menjemukan, yang hanya sesuai bagi robot yang tidak dapat berpikir.
Pada level organisasi yang lebih tinggi, tingkat manajer atau supervisor, perkembangan teknologi dan industrialisasi yang pesat menuntut adanya kemampuan managerial dan intelektual yang lebih baik, yang terkadang melampaui kemampuan yang dimiliki sebahagian besar individu. Dengan adanya teknologi yang lebih baik maka arus komunikasi dan proses produksi akan berjalan lebih cepat sehingga seorang manager dapat menjadi demikian sibuknya dan dibebani pekerjaan yang memerlukan penyelesaian dengan segera. Pada penyelesaian (supervisor) terjadi benturan antara dua tuntutan yang berbeda, disatu pihak ia harus memperhatikan penyelesaian tugas yang berbatas waktu dan dilain pihak ia harus juga memperhatikan pembinaan hubungan baik dengan bawahan-bawahannya.
Keadaan-keadaan diatas, baik bagi pekerjaan maupun bagi pihak manajer dan penyelia, menimbulkan perasaan tegang dalam diri mereka akibat faktor-faktor samar yang mengancam, baik yang bersifat sosial, managerial, ataupun yang berkaitan dengan lingkungan kerja yang tidak dapat diatasi. Keadaan tegang ini sesuai dengan konsep stres yang dikemukakan oleh Pearlin, Liebermen, Managhan, dan Mullan (Breznitz, & Golberger, 1982, hal 369) yang menyatakan :
Stress refer to a response of the organism to a noxious or theartening condition.
Teknologi dan industrialisasi yang pesat juga mencipta-kan suatu perubahan yang penting dalam sifat ancaman dan stres itu sendiri. Bagi manusia yang hidup dijaman yang masih primitif, ketegangan itu suatu keadaan yang masih mudah ditentukan sebab musababnya dan dapat dengan jelas dikenali, walaupun mengancam langsung kehidupan tetapi sekurang-kurangnya gamblang untuk dihadapi. Manusia jaman dulu dapat menanggapi ketegangan dengan tindakan yang konkrit berupa perilaku fisik yang relevan dengan ancaman fisik yang dihadapinya, sehingga dampak lanjutan dari ketegangan tersebut dapat dihindari.

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Pengertian Stres

Berbagai defenisi mengenai stres telah dikemukakan oleh para ahli dengan versinya masing-masing, walaupun pada dasarnya antara satu defenisi dengan defenisi lainnya terdapat inti persamaannya. Selye (1976) mendefinisikan stres sebagai ‘the nonspesific response of the body to any demand‘, sedangkan Lazarus (1976) mendefinisikan ‘stress occurs where there are demands on the person which tax or exceed his adjustive resources’ (Golberger & Breznitz, 1982, hal. 39). Dari kedua defenisi diatas tampak bahwa stres lebih dianggap sebagai respon individu terhadap tuntutan yang dihadapinya. Tuntutan-tuntutan tersebut dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu tuntutan internal yang timbul sebagai tuntutan fisiologis dan tuntutan eksternal yang muncul dalam bentuk fisik dan social. Hans Selye juga menambahkan bahwa tidak ada aspek tunggal dari stimulus lingkungan yang dapat
Mengakibatkan stres, tetapi semua itu tergabung dalam suatu susunan total yang mengancam keseimbangan (homeostatis) individu.
Hans Selye (1950) mengembangkan konsep yang dikenal dengan Sindrom Adaptasi Umum (General Adaptation Syndrome) yang menjelaskan bila seseorang pertama kali mengalami kondisi yang mengancamnya, maka mekanisme pertahanan diri (defence mechanism) pada tubuh diaktifkan. Kelenjar-kelenjar tubuh memproduksi sejumlah adrenalin cortisone dan hormon-hormon lainnya serta mengkoordinasikan perubahan-perubahan pada sistem saraf pusat. Jika tuntutan-tuntutan berlangsung terus, mekanisme pertahanan diri berangsur-angsur akan melemah, sehingga organ tubuh tidak dapat beroperasi secara adekuat. Jika reaksi-reaksi tubuh kurang dapat berfungsi dengan baik, maka hal itu merupakan awal munculnya penyakit “gangguan adaptasi”. Penyakit-penyakit tersebut muncul dalam bentuk maag, serangan jantung, tekanan darah tinggi, atau keluhan-keluhan psikosomatik lainnya.
B. Tahapan-tahapan proses stres
1. Stage of Alarm

Individu mengidendentifikasi suatu stimulus yang memba-hayakan. Hal ini akan meningkatkan kesiapsiagaan dan orientasinyapun terarah kepada stimulus tersebut.
2. Stage of Appraisals

Individu mulai melakukan penilaian terhadap stimulus yang mengenainya. Penilaian ini dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman individu tersebut.
C. Tahapan penilaian
a. Primary Cognitive Appraisal

Adalah proses mental yang berfungsi mengevaluasi suatu situasi atau stimulus dari sudut implikasinya terhadap individu, yaitu apakah menguntungkan, merugikan, atau membahayakan individu tersebut.
b. Secondary Cognitive Appraisal

Adalah evaluasi terhadap sumber daya yang dimiliki individu dan berbagai alternatif cara untuk mengatasi situasi tersebut. Proses ini dipengaruhi oleh pengalaman individu pada situasi serupa, persepsi individu terhadap kemampuan dirinya dan lingkungannya serta berbagai sumberdaya pribadi dan lingkungan.
3. Stage of Searching for a Coping Strategy

Konsep ‘coping’ diartikan sebagai usaha-usaha untuk mengelola tuntutan-tuntutan lingkungan dan tuntutan int internal serta mengelolah konflik antara berbagai tuntutan tersebut. Tingkat kekacauan yang dibangkitkan oleh satu stresor (sumber stres) akan menurun jika individu memiliki antisipasi tentang cara mengelola atau menghadapi stresor tersebut, yaitu dengan menerapkan strategi ‘coping’ yang tepat. Strategi yang akan digunakan ini dipengaruhi oleh pengalaman atau informasi yang dimiliki individu serta konteks situasi dimana stres tersebut berlangsung.
4. Stage of The Stress Response

Pada tahap ini individu mengalami kekacauan emosional yang akut, seperti sedih, cemas, marah, dan panik. Mekanisme pertahanan diri yang digunakan menjadi tidak adekuat, fungsi-fungsi kognisi menjadi kurang terorganisasikan dengan baik, dan pola-pola neuroendokrin serta sistem syaraf otonom bekerja terlalu aktif. Reaksi-reaksi seperti ini timbul akibat adanya pengaktifan yang tidak adekuat dan reaksi-reaksi untuk menghadapi stres yang berkepanjangan.
Dampak dari keadaan ini adalah bahwa individu mengalami disorganisasi dan kelelahan baik mental maupun fisik.
Disamping membagi stres kedalam tahap-tahap diatas, Lazarus juga membedakan istilah-istilah harm-loss, threat, dan challenge. Harm-loss dan threat memiliki konotasi negatif. Keduanya dibedakan berdasarkan perspektif waktunya. Harm-loss digunakan untuk menerangkan stres yang timbul akibat antisipasi terhadap suatu situasi. Baik stres akibat harm-loss maupun threat pada umumnya akan dapat berupa gangguan fisiologis maupun gangguan psikologis. Di lain pihak, challenge (tantangan) berkonotasi positif. Artinya, stres yang dipicu oleh situasi-situasi yang dipersepsikan sebagai tantangan oleh individu tidak diubah menjadi strain. Dampaknya tehadap tingkah laku individu, misalnya tampilan kerjanya, justru positif.
D. STRES DI LINGKUNGAN KERJA

Lingkungan kerja, sebagaimana lingkungan-lingkungan lainnya, juga menuntut adanya penyesuaian diri dari individu yang menempatinya. Dengan demikian, dalam lingkungan kerja ini individu memiliki kemungkinan untuk mengalami suatu keadaan stres. Stres kerja dapat dirumuskan sebagai suatu keadaan tegang yang dialami di dalam suatu organisasi. Stres ini dapat merupakan akibat dari lingkungan fisik, sistem dan teknik dalam organisasi, interaksi sosial interpersonal, isi atau struktur pekerjaan, tingkah laku individu sebagai anggota, dan aspek-aspek organisasi lainnya.
Secara umum terdapat tiga buah pendekatan untuk membahas masalah stres dalam ruang lingkup organisasi. Pendekatan pertama berorientasi pada karakteristik obyektif dari ber-bagai situasi kerja yang dapat menimbulkan stres. Pendekatan kedua mengacu pada karakteristik individu sebagai penyebab utama stres. Dan pendekatan ketiga meninjaunya melalui acuan interaksi antara situasi obyektif dan karakteristik individu.
Untuk menjelaskan bagaimana karakteristik-karakteristik di atas menimbulkan stres pada pekerja, berikut ini dikemu-kakan sebuah ilustrasi. Dengan adanya perkembangan teknologi, proses industri sekarang ini banyak menggunakan mesin-mesin dengan teknologi yang canggih. Mesin-mesin tersebut memiliki cara kerja yang otomatis dengan kecepatan kerjanya sendiri. Adanya keadaan ini menimbulkan perasaan tidak mengenakkan pada diri pekerja. Pertama, otomatisasi membuat pekerja hanya memiliki peranan yang relatif kecil dalam proses produksi karena sebagian besar pekerjaan telah diambil alih oleh mesin, dan ini membuat pekerja merasa kurang dihargai. Kedua, pekerja harus menyesuaikan diri dengan kecepatan kerja mesin yang seringkali membuatnya harus memusatkan perhatian secara terus-menerus, yang dapat menimbulkan keletihan baik fisik maupun mental kepada pekerja tersebut. Ketiga, keadaan inipun membuat hubungan sosial pekerja dengan pekerja lainnya menjadi berkurang karena pekerja harus memusatkan perhati-annya kepada mesin. Kesemuanya merupakan sumber stres bagi pekerja tersebut.
Contoh nyata adanya stres akibat kecepatan kerja mesin terdapat pada pekerja lini rakit (assembly line) yang menggu-nakan peralatan mekanis modern. Penelitian Hinkle pada Bell Telephone Company mendukung pernyataan di atas (Fraser, hal. 94).
Dalam kaitannya dengan karakteristik-karakteristik di atas, Kagan dan Levi (1971) menyatakan bahwa setiap individu mempunyai kemampuan genetis untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dan mempunyai perilaku tertentu untuk mengata-si lingkungannya tersebut (Fraser, hal.83). Jika stimulus yang dihadapi individu tidak melebihi batas-batas ambang penyesuainnya maka individu tersebut
Tidak akan tergangggu baik fisik maupun mentalnya. Kondisi fisik/mental individu terganggu jika stimulus yang dihadapinya menuntut penyesuaian diri yang melebihi batas ambangnya sehingga ia tidak mampu lagi mengatasi lingkungannya. Jika hal ini berlangsung terus menerus akan muncul simptom-simptom stres seperti gangguan percernaan migraine, atau keluhan-keluhan psikosomatik lainnya.
1.Karakteristik Pekerja
Pendekatan ini bertolak dari pendapat bahwa individu memiliki ambang stres yang berbeda. Dengan demikian, karakteristik individu akan mempengaruhi kadar stres yang dihayatinya. Berdasarkan beberapa penelitian, faktor-faktor berikut ini dapat mempengaruhi ambang stres seseorang (Braznitz & Golberger, hal.434) :
a. Usia
b. jenis kelamin
c. kebangsaan dan suku bangsa
d. taraf hidup
e. banyaknya perubahan yang dialami semasa hidup
f. kecenderungan work addict
g. kecenderungan neurotik dan depresi
h. fleksibilitas kepribadian
i. mekanisme pertahanan diri yang dipergunakan
j. self esteem
k. makna pekerjaan bagi individu

Salah satu teori yang berlandaskan pada teori ini adalah yang diajukan oleh Rosenman dan Friedman (1974) yang menggo-longkan individu kedalam dua pola perilaku yaitu individu tipe A dan individu tipe B, yang dikaitkan dengan kerentanan individu terhadap penyakit jantung (Breznizt & Golberger, hal.547).
Individu dengan pola perilaku tipe A lebih mudah terserang penyakit jantung (CHD) terlepas dari faktor-faktor fisik dan jenis pekerjaan mereka. Dua karakteristik utama individu dengan pola perilaku tipe A adalah adanya suatu dorongan yasng besar untuk bersaing dan perasaan menetap tentang pentingnya waktu. Individu dengan pola perilaku tipe A sangat ambisius dan agresif, selalu bekerja untuk mencapai sesuatu, berlomba dengan waktu, beralih dengan cepat dari suatu pekerjaan kelain pekerjaan, dan terlibat penuh pada tugas-tugas pekerjaannya. Akibatnya, individu dengan pola perilaku tipe A selalu berada dalam keadaan tegang dan stres. Walaupun pekerjaan relatif bebas dari sumbner-sumber stres, mereka membawa stres mereka sendiri dalam bentuk pola perilakunya. Stres selalu timbul pada saat bekerja maupun pada waktu senggang mereka.
Individu dengan pola perilaku tipe B mungkin sama ambisiusnya dengan individu tipe A, tetapi mereka lebih santai dan menerima situasi seadanya. Individu tipe B beker-ja dengan nyaman tanpa usaha untuk memerangi situasi ynag mereka hadapi secara kompetitif. Dalam menghadapi tekanan waktu, sikap mereka lebih santai sehingga jarak mengalami masalah-masalah yang berhubungan dengan stres dan tegang. Dengan demikian individu tipe B dapat bekerja sebaik yang dilakukan oleh tipe A tetapi lebih sedikit mengalami akibat-akibat yang menyakitkan dari stres.
Sebenarnya, pembagian pola perilaku ini tidak menun-jukkan ciri kepribadian yang statis, akan tetapi lebih meng-gambarkan gaya perilaku yang disertai dengan beberapa reaksi kebiasaan seseorang dalam menghadapi situasi disekitarnya. House (1973) menambahkan bahwa ciri psikis utama individu tipe A adalah keinginan untuk mencapai prestasi sosial (social achievement) yang dapat dianalogikan dengan
Mencari status (status seeking). Glass (1977) menduga bahwa faktor utama yang menyebabkan timbulnya pola perilaku tipe A adalah keinginan atau obsesi untuk mengendalikan lingkungan. Dengan demikian, permasalahan yang dihadapi oleh individu tipe A pada tidak bisa tidak melakukan sesuatu sama sekali (inactivity). Individu tipe A akan menghayati stres yang relatif lebih besar jika mereka dibiarkan tanpa diberikan pekerjaan atau aktivitas.
2. Pendekatan Interaksi
Teori-teori yang didasari oleh pendekatan ini berpenda-pat bahwa stres tidak semata-mata disebabkan oleh situasi lingkungan kerja atau semata-mata oleh karakteristik pekerja yang bersangkutan melainkan oleh interaksi antara kedua faktor tersebut. Berdasarkan pendekatan interaksi ini, Cox dan Mackay (1979) mengatakan bahwa stres merupakan hasil penafsiran seseorang mengenai keterlibatannya dalam lingkung-annya, baik secara fisik maupun secara psikososial. Stres atatu ketegangan timbul sebagai suatu hasil ketidakseim-bangan antara persepsi orang tersebut mengenai tuntutan yang dihadapinya dan persepsinya mengenai kemampuannya untuk menanggulangi tuntutan tersebut (Fraser, hal. 80). Ini berar-ti bahwa tidak ada stresor yang berifat universal. Stimulus yang sama dapat menyebabkan intensitas stres yang berbeda atau bahkan tidak menyebabkan stres sama sekali pada individu yang mempersepsi dirinya mampu menghadapi stres tersebut. Dengan demikian, yang menjadi pokok bahasan adalah persepsi individu terhadap situasi dan partisipasi aktif individu dalam interaksi yang berlangsung. Dengan perkataan lain, cara individu menghadapi stres lebih penting daripada frekwensi dan kadar stres itu sediri.
Salah satu model teori interaksi yang cukup populer berasal dari French (1982), yang disebutnya “the Person Enviromental fit Model”. Menurut French, stress terdapat pada kotak G dalam model P-E nya, yaitu sebagai “Subjective Person-Environment Fir”. Dalam hal ini, konsep stress dari Mc.Grath, yang menekankan masalah persepsi.
Seperti yang digambarkan dalam model P-E stress tidak timbul akibat stressor lingkungan semata melainkan merupakan hasil persepsi individu terhadap kemampuan dan motivasinya untuk menghadapi stressor tersebut. Faktor persepsi dalam model tersebut merupakan faktor yang paling menentukan bobot stres dari suatu situasi.
Dalam model P-E tersebut, persepsi individu dipengaruhi oleh karakteristik lingkungan (Objective Social Environment) dan karakteristik individu (Objective Person). Dengan demi-kian jika salah satu dari kedua hal ini berubah, persepsi individu pun akan berubah, sehingga pada akhirnya bobot stres yang dihayati akan berubah pula.
French juga mengemukakan bahwa stress yang dipersepsi dapat dikurangi melalui dua mekanisme, yaitu “Social Support” dan “Ego Defence”. Artinya, jika individu memperoleh dukungan sosial yang memadai dari lingkungan dan/atau menggunakan ego defence yang tepat, stress dapat menurun intensitasnya.
E. KEPUASAN KERJA

Kepuasan kerja akhir-akhir ini semakin terasa penting artinya dalam lingkup organisasi. Kepuasan kerja mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap produktivitas organisasi baik secara langsung ataupun tidak langsung. Ketidakpuasan merupakan titik awal dari masalah-masalah yang muncul dalam organisasi, seperti kemangkiran, konflik manager-pekerja, ‘turn-over’, serta banyak masalah lainnya yang menyebabkan terganggunya proses pencapaian tujuan organisasi. Dari sisi pekerja, ketidakpuasan dapat menyebabkan menurunnya motivasi, menurunnya moril kerja, menurunnya tampilan kerja baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.


BAB III
TINJAUAN KRITIS

Telah dikemukakan sebelumnya bahwa kepuasan kerja dapat menurunkan kadar stres dan mengurangi dampak stres tersebut terhadap diri pekerja. Berdasarkan model P-E dari French, stres muncul jika terdapat kesenjangan antara persepsi individu mengenai kebutuhan-kebutuhannya dan persepsi individu pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut dari lingkungannya, serta adanya kesenjangan antara persepsi individu mengenai tuntutan lingkungan. Kepuasan kerja, yang berarti terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pekerja, menunjukkan kesesuaian antara persepsi individu mengenai kebutuhannya dan persepsi mengenai pemenuhan kebutuhan tersebut dari lingkungan. Tampak jelas bahwa stres bahwa kepuasan kerja sendiri berarti tidak adanya stres individu.
Kepuasan kerja merupakan kondisi emosional yang positif atau menyenangkan terhadap pekerjaan, yang berarti bahwa makna pekerjaan bagi pekerja yang puas menjadi positif. Dengan adanya makna pekerjaan yang positif ini pekerja menjadi lebih siap menghadapi tuntutan-tuntutan pekerjaannya tersebut. Dengan demikian, walaupun individu dihadapkan pada pekerjaan yang mempunyai kemungkinan memberikan stres yang besar, kadar stres dan dampak stres yang dihayatinya tidaklah terlalu besar. Makna pekerjaan bagi individu merupakan sumber stres yang potensial.



BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan hal-hal berikut :
1. Stres dan kepuasan kerja mempunyai hubungan timbal-balik. Kepuasan kerja dapat meningkatkan daya tahan individu terhadap stres dan dampak-dampak stres dan sebaliknya, stres yang dihayati oleh individu dapat menjadi sumber ketidakpuasan.
2. Kebutuhan utama pekerja pada era teknologi canggih ini adalah adanya hubungan sosial yang baik dengan pekerja lainnya dan dengan penyelia/atasan serta penghargaan terhadap prestasi kerjanya. Sehingga dengan demikian, agar kepuasan kerja dapat tercapai maka perusahaan hendaknya memperhatikan kebutuhan-kebutuhan tersebut. Pada sisi lain, adanya hubungan sosial yang baik ini dapat dipersepsi pekerja sebagi dukungan sosial yang dapat menurunkan ketegangan yang dihayatinya.
3. Usaha menurunnya stres dan dampaknya dari lingkungan pekerjaan dapat dilakukan melalui perancangan kembali pekerjaan dan memilih pekerja sesuai dengan pekerjaan yang akan dilaksanakannya. Tujuannya adalah agar pekerjaan tidak dipersepsi sebagai suatu tekanan atau sumber ketegangan oleh pekerja.
4. Dalam usaha mengurangi kadar stres dan dampaknya tersebut penyelia atau atasan dapat berperan sebagai konselor yang berusaha membantu pekerja mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya.
DAFTAR PUSTAKA


Cooper, Cary L. & Roy Payne, Stress at Work, John Wiley and Sons Ltd., New York, 1978
Fraser, T.M., Stress & Kepuasan Kerja, PT. Pustaka Binaman Pressindo, LPPM, Jakarta, 1985
Goldberger, Leo & Shlomo Breznizt, Handbook of Stress, The Free Press, New York, 1982
Landy, Frank J., Psychology of Work Behavior, 3rd edition, The Dorsey Press, USA, 1985
Milton, Charles R., Human Behavior in Organization, Prentice-Hall Inc., Englewood Cliffs, N.J., 1981
Wexley, Kenneth N. & Gary A. Yukl, Organizational Behavior and Personnel Psychology, Richard D. Irwin Inc., 1977

Tidak ada komentar: